Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen
#MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Tasseography,
Ramalan Secangkir Kopi
Apakah kamu percaya?, bahwa
secangkir kopi dapat merasakan masa depan seorang anak manusia. Secangkir kopi
yang diseruput dengan kedalaman rasa dapat meramalkan masa depan seseorang.
Masa depan itu terbaca dari gambaran ampas kopi yang tersisa di dasar cawan,
yang diseduh oleh sang penikmat kopi. Itulah tasseography, ramalan dari
secangkir kopi. Pantaskah ramalan dari secangkir kopi itu dipercaya? , atau
hanya bualan belaka, andaikan masa depan yang tergambarkan dari ampas kopi
tersebut benar adanya, maka menurutku itu hanyalah kebetulan belaka.
Sebagaimana kebetulan-kebetulan yang terjadi dalam hidup sehari-hari seseorang.
Kebetulan pagi ini aku berkenalan
dengan seorang perempuan manis yang diperkenalkan oleh seorang teman sebagai
pencombalangan yang terakhir untukku. Dia lelah, atau bisa jadi kuota perempuan
yang dia kenal untuk dikenalkan kepadaku sudah habis, lantaran asmaraku selalu
berakhir dengan kesendirian, seperti kopi. Seperti akhir setetes kopi di ujung
lidahnmu, tergantung panas dan pengadukan, semakin tinggi kedua faktor itu maka
semakin sempurnalah gula larut dalam cairan hitamnya. Namun kalau saja keduanya
kurang sempurna maka kopi terakhir yang engkau seruput pasti terasa pahit. Begitu juga cinta, ia dapat berakhir dengan
rasa pahit atau manis, tergantung bagaimana panas atau dingin suasana dan
bagaimana cara engkau mengaduknya. Asmaraku tidak berakhir dengan rasa pahit
atau manis, bahkan tanpa rasa, karena aku belum pernah mengikatkan diri pada
satu hubungan yang lebih serius dari pada suatu perkenalan. Dan perempuan manis
yang dikenalkan padaku pagi ini, aku harap adalah perempuan terakhir yang akan
menjadi cinta pertama.
Bukankah suatu kebetulan kalau saja
orang banyak mengatakan bahwa yang pertama adalah yang terindah? . aku setuju,
karena seorang yang mengatakan yang pertama adalah yang terindah tidak lagi
mempunyai perbandingan tentang keindahan dan keburukan itu sebelumnya. Sehingga
secara otomatis yang pertama selalu menjadi yang terindah tanpa ada suatu
pembanding. Sesuatu yang didapatkan dari yang pertama selalu terkesan dan sulit
terlupakan. Tidak seperti yang terakhir, bukan kebetulan tetapi pasti, yang
terakhir akan selalu menjadi yang terbaik. Apapun yang dimiliki oleh yang
terakhir pasti akan diterima oleh sang pencari keindahan karena sang pencari keindahan
tidak lagi memiliki pilihan lain setelahnya. Tentu, dari pada mencari apa yang
tidak ada, dari pada tidak mendapatkan apa-apa maka yang terakhir selalu
menjadi pilihan yang terpilih.
Yang ditengah-tengah kamu tahu
itu apa?
Yang berada diantara yang pertama
dan terakhir akan menjadi sebuah kenangan.
Kebetulan siang ini, emakku,
perempuan tua di usia senja, bertanya kapan akau akan menikah. Sedangkan aku
tidak punya pilihan lain lagi. Aku seperti sehelai daun yang hanyut di sungai
yang semakin menderas menuju air terjun. Aku tidak punya waktu untuk mengambil
keputusan. Akhirnya aku pilih jawaban terakhir sebagai ucapan yang terbaik.
“Pertengahan tahun ini aku akan
menikah, tapi….”
“Tapi sebelumnya aku ingin ke
Banda dulu,” Lanjutku.
“Banda Aceh ?” Tanya emakku
heran.
“Tidak boleh !” Lanjutnya
“Bagaimanapun tidak boleh. “
“Emak !!” Aku terperangah.
“Hanya sebentar, aku pasti pulang Mak. “
“Jangan kembali kesana, hidup
terus maju seperti waktu yang tak pernah kembali. “ Nasihat ibu yang kupanggil
emak.
“Ke Banda hanya untuk
mengembalikan kenangan, meninggalkannya
untuk selama- lamanya Mak….” Pintaku memohon.
“….” Aku terdiam. Emak tidak
merestuiku untuk kembali ke Banda biarpun sekejap. Sekedar meninggalkan semua
kenangan ke tempat dimana ia berasal dahulu. Kenangan yang selalu hidup, tak
pernah mati. Aku tidak ingin kenangan-kernangan dimasa lalu itu masih
tersangkut dalam kehidupan baru rumah tangga. Aku ingin kehidupan pernikahan
itu dimulai oleh sesuatu yang baru.
Hidup yang benar-benar baru. Setidaknya biarkan aku ke Banda lagi, menutup
kenangan yang terus ada.
Selama ini, aku berdiam diri
dalam suatu kesendirian karena masih berharap dapat kembali kepada kenanganku.
Kembali ke Banda Aceh memulai kehidupan baru dengan penghidupan yang lebih
baik. Aku tidak mau meneruskan sisa
kehidupan di Pekanbaru bila masih dibayang-banyangi kenangan masa lalu. Aku
masih berharap kembali ke Banda Aceh, ke
tempat dimana kenangan itu berasal. Oleh karena itu aku masih sendiri, ragu
untuk melanjutkan kehidupan bersama perempuan baru di sini, karena masih
berharap untuk dapat kembali pada
kenangan.
Hidupku dimulai dari hamparan
puing-puing kehancuran sejauh mata memandang, dibatasi garis pantai dan dipagari
kaki-kaki gunung dari kejauahan, Banda Aceh yang bangkit dari kehancuran, disanalah
segala sesuatunya berasal. Aku rindu setiap saat, bukan hanya suasana dan suara
yang masih jelas tergambar di dalam lensa mataku, tetapi juga aroma udara yang
bercampur garam dari laut masih jelas aku rasakan ketika aku memejamkan mata.
Siluet-siluet kenangan itu muncul, mungkin emak mampu melupakan semuanya, tapi
aku tidak. Maka, aku harus mengembalikannya, meninggalkannya.
Waktu memang mengubah apa yang
ada, tapi tidak mampu mengubah perasaan, karena sejatinya perasaan tidak dapat
diubah oleh waktu. Sehingga tidak ada jalan lain selain meninggalkan kenangan
ke tempat dimana ia berasal, Banda Aceh. Kota dimana disana tertinggal satu
kata yang terbaca ‘ayah’, berjuta kedai yang menjadi tempat terbaik kopi
tersaji. Warung kopi menjadi tempat
bercengkrama para lelaki,
membangun tradisi semangat kebersamaan dan keakraban. Warung-warung kopi yang
dahulu sempat lantak oleh ombak tsunami, kini telah kembali tegak bahkan lebih
banyak. Waktu tidak mampu mengikis tradisi.
Semuanya tidak seperti dahulu
lagi, telah banyak yang berubah dari Banda Aceh. Begitu kabar terakhir yang aku
dengar, memang setelah aku dan emak pergi sepuluh tahun lalu kami tidak pernah
kembali lagi, sekalipun. Alasan emak tidak mau kembali, mungkin karena takut pada
kenangannya sendiri. Kenangan pada ayah satu lelaki yang ada di hatinya yang
telah hilang dalam lautan hindia. Emak tidak mampu menerima kenyataan bahwa
ayah telah hilang, dan lebih memilih untuk menghilangkan semua kenangan itu
dari pada menerima kenyataan.
Hidupku dibangun dari puing-puing
tsunami. Dan kepada bongkahan-bongkahan itu aku berharap untuk menyusunnya
kembali menjadi sebuah mahligai yang dahulu telah terserak oleh sepakan ombak.
Aku berpacu dengan waktu. Waktu yang senantiasa menghabiskan apa yang ada tidak
mampu aku lawan. Bongkahan-bongkahan sebagai tenpat aku menggantungkan asa
untuk mengembalikan masa lalu kini telah hilang. Baru aku sadari, terlambat,
dari kabar terakhir yang aku dengar: padang hamparan puing-puing tsunami sudah
tidak ada lagi, telah berganti dengan bangunan-bangunan baru. Dan pohon-pohon
yang dahulu tercabut kini telah julang meninggi. Pucuk-pucuk cemara pantai kini
sudah berkibar- kibar ditiup angin laut. Semuanya telah berubah oleh waktu. Aku
tak punya pilihan lain selain terus maju dan memulai hidup baru dengan sebuah
pernikahan.
Aku tak punya pilihan lain selain
pergi tanpa restu. Aku memasuki kamar emakku. Aku genggam tangannya dan aku
cium sebagai salam berpamitan. Diatas dadanya, aku letakkan selembar kertas. Bertulaskan
‘emak aku segera kembali’. Kemudian aku tutup pintu kamarnya perlahan. Emak
masih tertidur pulas. Emak maaafkan aku.
Kebetulan malam ini, aku
mendapatkan keberangkatan ke Bandara Sultan Iskandar Muda. Di terminal
kedatangan aku berjalan menuju satu outlet minuman yang masih tersedia. Aku
memesan kopi, secangkir Arabica dari tanah gayo dengan racikan Ulee Kareung
untuk di sajikan di sudut meja yang aku pilih. Aku termenung dalam kesepian.
Saat kopi itu datang seorang perempuan menyapaku di penghujung malam. Siapakah
dia ?
“Salam..”
“Waalaikumsalam adik”
“Telah lama aku melihat abang
termenung ?” Ia membuka percakapan, sembari merapikan lilitan jilbab merah
jambu di lehernya.
“Tidak ada kehidupan yang tampa
masalah bukan ?”
“Masalah jangan sampai menggalaukan
hati?”
“Ya begitulah …” aku tersenyum.
“Abang pernah dengar, kalau secangkir kopi yang ada di depan kita ini
dapat menjawab kegalauan hati, tasseography, ramalan secangkir kopi”
“Oh ya ?”
“Abang mau coba ?”
“Mengapa tidak “ Lanjutku. Ia
mengambil cangkir kopi pesananku. Mengangkatnya sejajar dengan matanya.
Kemudian cangkir itu digoyang-goyangkan lembut dan pelan. Lalu diletakkannya
kembali ke atas meja.
“Minumlah abang”
Aku tersenyum, “ Ini aman ?“
candaku.
Ia tertawa manis. Aku meminum
kopiku sampai cairan hitam itu habis. Dan meletakkan kembali ke atas meja.
Perempuan itu menoleh pada sisa ampas kopi di dasar cangkir. Aku juga
melihatya. Ajaib. Ampas itu bergerak membentuk pola. Dua lingkaran yang lambat
laun makin jelas. Dua lingkaran yang saling berkaitan.
“Gambar apa ini ?” Tanya
perempuan itu.
“Sepasang cincin” jawabku dalam dan serius.
“Menurut abang apa artinya?”
“Bisa jadi sebuah pertunangan”
“Bisa jadi abang akan menemukan
jodoh abang disini. Banda Aceh.” Jelasnya. Kemudian ia berjalan pergi,
terburu-buru.
“Siapa nama adik ?”
“Mala…”
***
Syiah kuala adala negeri angin,
sejauh mata memandang hanya hamparan puing-puing tsunami. Bongkahan-bongkahan
beton dan tambak-tambak kosong pada hamparan yang luas. Hamparan yang membuat
angin senantiasa bergerak bebas, memenderu. Hiruk tapi mendamaikan jiwa. Angin
dari laut itu bagaikan salam dari sang surya yang menenggelamkan dirinya ke
samudra. Sebelum surya hilang dan berganti rembulan lautan menjelma menjadi
hamparan keemasan berselimut cakrawala jingga. Begitu indah Sang Pencipta melukis dunia setiap senja
sebelum maghrib datang, aku selalu menyaksikan itu, dahulu disini, di Syiah Kuala,
dimana kenanganku dilahirkan.
Jalanan menuju Syah Kuala kecil
dan diaspal, di kiri dan kanannya masih kosong, angin bergerak bebas. Di tepian
jalan banyak orang yang merebahkan diri di bawah pokok- pokok jemplang. Istirahat
dari semua kesibukan dunia. Di pinggiran pantai anak- anak kampung banyak bermain
bola dengan bahagianya. Suasana dalam senja
dan pagi di Syiah Kuala yang akan aku lupakan kini semuanya telah berganti oleh
waktu.
Kini angin tidak sebebas dulu,
telah terhalang rumah-rumah dan bangunan yang semakin padat. Pandangan mata
tidak selapang dahulu, sudah terhalang oleh perumahan sederhana yang susunannya
tidak beraturan. Suara angin yang medamaikan jiwa telah bercampur dengan hiruk
pikuk manusia. Pohon-pohon yang dahulu
tercabut tsunami kini telah berganti cemara laut yang telah menjulang tinggi.
Angin senantiasa mengipas pucuk-pucuknya, bagaikan kibaran bendera sepanjang waktu. Matahari yang mengenggelamkan
diri tidak tampak lagi dari kejauhan kecuali kalau berjalan ke tepian pantai.
Ketika kaki menjejaki pasir di
pantai Syiah Kuala, aku memejamkan mata. Butiran bening itu membasahi pipi. Aku
ucapkan selamat tinggal untuk kenangan. Selamat tinggal masa lalu. Selamat
tinggal ayah. Senantiasa doa terucap dari jiwa untuk kita yang akan kembali
pada keabadian. Aku bangkit dan berpaling tanpa menoleh kebelakang. Aku
tinggalkan lautan. Aku berjalan menjauh. Aku sudah meninggalkan kenanganku di
Syiah Kuala, tempat makam ulama kharismatik pada abad kejayaan. Ulama yang
secara tidak langsung menjadi penguasa kala Kerajaan Aceh diperintah oleh empat
orang sultanah, sultan perempuan berturut-turut. Aku meninggalkan Banda Aceh
tanah parah aulia, ulama terdahulu. Tanah warisan para endatu, orang orang terdahulu. Aku meninggalkan semua kenanganku
dengan hati yang lapang.
Langkah aku pulang adalah langkah
pertama dalam kehidupan yang baru. Emak aku segera pulang.
Aku segera pulang, aku berjalan
menuju terminal keberangkatan. Langkahku lebih cepat, laju dan pasti.
“Bruuk ! ” Aku menabrak seorang
perempuan. Wajah itu tak asing lagi.
“Mala ”
“Abang ..” Sambutnya, dari
wajahnya Dia kebingungan.
“Ada apa Mala ?”
“Mala mau ke Pekanbaru bang. Tapi
ada musibah tiba- tiba”
“Nenek sekarat.” Matanya berkaca-
kaca.
“Innalillahi…” Ucapku,
“Ada yang bisa Abang bantu?”
“Boleh titip kiriman Mala ke Pekanbaru
bang?” Jawab Mala sembari menyerahkan tas yang cukup besar.
“Apa ini Mala?”
“Kopi bang…”
“Kalau abang sampai di Pekanbaru
nanti Mala hubungi”
“Ide bagus”
“Siapa nama abang ?”
“Jamil…” jawabku sembari
menyerahlan kartu nama.
“Makasih bang” kemudian Mala
pergi terburu-buru seperti sebelumnya. Mala akankah aku bertemua dia kembali,
seperti kebetulan-kebetulan dalam pertemuan kami.
***
“Pak Anda diperiksa !!”
“Apa ?!” jawabku panik, kedua
petugas bandara itu menggenggam lenganku, menarikku menjauh. Orang- orang
berkerumun.
“Apa salahku?”
“ Aku harus segera pulang,” , ‘aku
harus segera pulangg untuk emak’. Lanjutku dalam hati.
“Anda menyimpan narkotika”
“Apa ???”, jawabku. Kedua
tanganku telah terkunci sebentuk logam yang melingkar, borgol.
Lingkaran-lingkaran borgol itu mengingatkanku pada gambaran dalam secangkir kopi
semalam, Tasseography, ramalan secangkir kopi.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar